Menjebak Johan (petikan novel)
Ujung jemarinya mengetuk
permukaan meja secara bergantian. Kelingking, jari manis, jari tengah, dan
telunjuknya, mengintimidasiku. Setelah aku memasuki ruangannya, suasana sempat
hening. Ia hanya mempersilakanku duduk dan sengaja menunda pembicaraan.
Suara
ketukan itu kembali terdengar; kelingking, jari manis, jari tengah, telunjuk. Mematuk
meja dengan irama konstan sehingga mengeluarkan bunyi ketuk yang merambat. Tindakan
yang cerdas agar orang di hadapanmu merasa tak nyaman.
Dari balik
kacamatanya, ia menatapku. Mungkin berusaha menebak isi kepalaku juga. Ini
membuatku gemas. Namun sisi baiknya, aku senang dia ikut terseret dalam persoalan
ini. Ia juga tak bakal sadar bahwa aku tengah mempersiapkan sebuah rencana
untuknya, sebuah manuver. Kau bisa saja menganggapku culas. Tapi aku yakin,
kita tak perlu sepenuhnya merasa bersalah ketika melakukan suatu “kejahatan”
terhadap orang jahat. Lagi pula, aku melakukan ini demi kebaikan semua orang.
Jika rencanaku berhasil, kebenaran akan terungkap. Atau bisa jadi, ini semacam bagian
dari karma di mana aku turut andil di dalamnya.
“Raka,
kau tahu, kan, seberapa pentingnya ini?” tanyanya tenang.
Aku
terdiam sejenak.
“Ya,
Pak.”
Aku menunduk
demi memberikan kesan “merasa bersalah”. Ini menjadi sebuah konsensus sekaligus
kesepahaman di antara kami, para kaki-tangan Johan, bahwa kita sama sekali tak
bisa menyanggah atau membela diri ketika Johan mengadili kami. Kau harus
menerima secara lapang dada bahwa ia berhak menekanmu karena kau adalah seorang
“terdakwa”. Andaipun hendak melakukan perlawanan, jaga agar jangan sampai
berlebihan. Jadi, begitu kata-katanya yang pedas menghajarmu, telan saja dulu.
Kami sudah terbiasa dengan ini. Dadamu akan terasa sesak tapi setelah itu kau
akan baik-baik saja. Sedihnya lagi, ia terlalu perasa dan melankolis. Jika kamu
menantang dia, ia akan merasa sebal padamu dan akan mendiamkanmu setidaknya
selama tiga hari. Ada saat-saat ketika ia bertingkah kelewatan. Hal itu biasanya
akan cukup lama membekas. Kau akan keluar dari ruangannya dengan wajah muram,
menelan sumpah serapah yang sesungguhnya ingin engkau muntahkan tepat di mukanya.
Pada situasi seperti sekarang ini—seperti yang tengah aku alami—mengalah dan
tetap bersabar adalah jalan terbaik. Sudah pasti kau tak ingin mendapat masalah
lainnya dari Johan.
“Raka,
saya pernah kasih tahu kamu kalau kamu selalu bisa diandalkan. Sejak pertama
kali saya ngelihat hasil kerja kamu.”
Aku
masih menunduk, lalu mengangguk ringan.
“Tapi kali
ini, kamu payah banget. Lambat!” Johan menonjokku dengan kata-katanya.
Kini mataku
terarah padanya. Lalu aku paksa diriku untuk mengalihkan pandangan pada tumpukan
berkas di atas meja. Bukan karena takut, lebih karena menahan diri agar
segalanya tak semakin keruh.
“Jadi?”
Johan mengangkat alisnya.
“Ada
penjelasan? ... atau mungkin alasan?” lanjutnya.
Aku berdeham.
Membasahi bibirku sebentar. Sejenak menghela napas, dan ....
“Saya
mesti mengatur ulang jadwal setelah kemarin sibuk bantuin launching bukunya Januar, Pak. Awalnya saya atur 15 halaman per
hari. Tapi keteteran.”
Dengan
berat hati, tidak kusebutkan bahwa perintah Johan untuk menganalisis sebuah
program kemarin sebenarnya dapat menjadi alasan lain keterlambatanku.
“.... Selagi
saya menyunting, Eva jalan proofreading.
Tapi Haryono juga bermasalah, Pak.”
“Itu
biasa, kan? Kita sering ngehadapin outsourcee
seperti itu,” jawabnya singkat.
“Ya,
tapi sejak awal saya nggak rekomendasikan buat ‘pakai’ Haryono, Pak.” sergahku.
“Mestinya
kamu antisipasi juga. Bukan kali ini saja kita ngehadapin masalah seperti ini.”
Nada bicaranya meninggi. “Dia bisa kerja cepat, Raka. Kita sudah sering kerja bareng
dia, kan?”
Ya,
cepat kalau uang muka sudah cair.
“Dan
kerjanya juga bagus. Ayolah, masalah serius apa yang bisa kita dapat dari me-layout
sebuah novel?”
Kerja
bagus? Sebenarnya Haryono biasa saja. Dia hanya “murah”.
“Terakhir
saya kontak dia, katanya dia sakit, Pak. Saya sudah bilang kalau memang tak
sanggup dan tak memungkinkan, biar kami
teruskan di kantor.”
“Ya,
kenapa nggak gitu aja?”
“Dia
bilang ‘besok akan saya rampungkan’” jawabku datar.
“Besok?”
“Ya,
itu empat hari yang lalu.”
.“Kau
bisa ambil saja layout itu, biar Mario yang mengerjakannya.”
“Dia penuh, Pak.”
Apa
dia lupa apa alasan kami melempar pekerjaan ini ke freelancer. Mario sudah disesaki order desain dari Lia dan order
project dari ... siapa itu, Kepala Bagian Project baru yang sering “menitipkan”
pekerjaan kepada Departemen kami.
“Ok,
itu mungkin masalah lain. Tapi intinya. Kerja kamu lambat. Kamu nggak bisa
ngikutin timeline. Layout juga nggak bakal jalan
kalau editan belum masuk, kan?”
Kubalas
kata-kata Johan dengan anggukan ringan. Kutundukkan lagi kepalaku, sikap klise
yang wajib kutampakkan pada situasi ini.
Johan melipat
kedua lengannya di dada, memerhatikan berkas-berkas atau beberapa dummy yang tergeletak
di atas meja. Ia lantas menerawang ke langit-langit sejenak, lalu menggaruk
dagunya.
“Oke.
Jadi begini: pameran kurang dari tiga minggu lagi. File masih belum siap. Tapi
untungnya, desain cover sudah fix. Proofreading simultan dengan editing—tapi kerjaan
Eva bakal lebih cepat daripada kamu—layout Haryono tergantung kecepatan kamu
mengedit, yang jelas kamu harus push
dia terus, tapi ... pengerjaan editing baru 60%....jadi, mau gimana kira-kira?”
“Setidaknya
editing mesti beres dalam tiga hari, Pak.”
“Dua hari. Perlu waktu dua minggu buat nyetak 3.000 eksemplar. Tapi nggak
masalah, kita bisa ambil dulu sebagian yang udah jadi dari percetakan. Yang
penting di pameran ada beberapa ratus yang jadi stok.”
“Bisa,
Pak,” jawabku terkesan optimistis. Johan agak kaget. Dahinya mengerut, tapi aku
tahu dia memercayaiku.
“Soal
Haryono, gimana?” tanya Johan.
“Komunikasi
sama dia ngabisin waktu, Pak.”
“Jadi?”
“Paksa
dia selesaikan pekerjaan dia yang belum selesai. Lunasi penuh honornya.”
Kami
berdua tahu bahwa sebenarnya Haryono adalah tipe orang yang bisa sangat
pengertian setelah kita mentransfer sejumlah uang ke rekeningnya.
Johan
terdiam, bukan kebiasaannya melunasi honor sebelum pekerjaan selesai. Bahkan ia
tidak pernah secara disiplin membayarkan uang muka di awal sesuai kesepakatan. Sekali
lagi kubilang, mungkin ini bagian dari karma. Johan juga sering “mangkir” dari
Haryono atau kerap menunda-nunda ketika Haryono menagih hak-nya.
“Lunasi
honornya, saya push dia supaya menyelesaikan
semua bahan layout yang dia pegang dalam waktu satu hari. Setelah honor itu
cair, saya jamin semuanya beres secepatnya, Pak.”
“Lalu,
bagaimana kamu ngerjain bagian kamu? Dua hari?”
“Ya,
bisa diatur, Pak.”
Johan
tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Ia hanya memandangku, lalu menyeringai.
“Jangan
sampai meleset, ya.” Kacamata Johan tampak berkilat.
“Jangan
khawatir, Pak.”
Sebenarnya,
target menyunting selama dua hari dengan volume ketebalan sekira 100 halaman
terbilang nekat. Tapi, kau tahu kan kalau aku punya sebuah kelebihan yang akan sangat membantu pada situasi seperti ini.
“Tapi
izinkan saya lembur, Pak. Mungkin saya juga harus menginap di kantor.”
Sejak
awal, aku menduga bahwa sebenarnya Johan memang akan memerintahkanku lembur,
tapi komitmen untuk mengerjakan pekerjaan selama dua hari jelas membuatnya sedikit
terkejut. Dan sekarang, aku mengajukan diri untuk menginap di kantor. Langkah
lainnya yang tentu tak ia sangka-sangka. Tak ada cara lain agar aku bisa
leluasa masuk ke ruangan ini dan mengaduk-aduk lacinya hingga kutemukan barang
bukti itu. Seperti informasi yang kudapat dari Allea, seharusnya berkas itu ada
pada Johan. Begitu kudapatkan berkas itu dan kuserahkan kepada Pak Helgi,
mampuslah si Johan.
“Menginap?”
tanya Johan, dahinya berkerut. “Yakin?”
“Yah,
gimana lagi, Pak. Saya mesti fokus ngerjainnya.”
Johan
memicingkan mata, seolah memastikan permintaanku. Ia mengangguk-angguk, lalu membenahi
posisi duduknya.
“Oke.
Kenapa nggak? Mulai besok?”
“Mulai
malam ini saja, Pak.”
“Boleh.
jangan lupa lapor sekuriti, ya.”
“Siap,
Pak.”
Telepon
di ruangan Johan berbunyi. Memberi jeda pada percakapan Johan yang Agung dan Raka
yang bukan siapa-siapa.
“Sebentar,”
kata Johan sambil mengangkat gagang teleponnya. “Halo ... Oh, Pak Wiky...”
Pikiranku
meracau ....
Kau
tahu Johan, tak lama lagi kau akan tamat. Bersenang-senanglah dulu sebelum
kedokmu kubongkar. Aku sudah bosan mendengar rengekan Eva karena ulahmu, Mulyono
yang uring-uringan karena kau ejek keluarganya, Mario yang akhirnya tahu bahwa
kau sering mengadu domba, membuatnya berselisih dengan Akbar.
Johan
terkekeh di tengah obrolannya.
Atau Jessica,
anak baru di bagian SDM itu yang saat ini tengah menjadikanmu bahan gunjingan
di kantor; tanganmu yang kurang ajar tak akan lagi mampu menjamah bokongnya
yang kau bilang aduhai.
Johan
tertawa terbahak-bahak, menampar meja dengan keras di tengah derai tawanya.
Tawamu
yang meledak nyaring seperti tawa raja itu tak bakal lagi terdengar di kantor
ini. Jika kau raja, tawa itu akan tergantikan dengan tawa rakyatmu yang telah
lama mengidamkan keruntuhanmu. Kau akan jatuh sejatuh-jatuhnya. Tangga reyot yang kau susun tinggi itu akan membuat
jatuhmu semakin menyakitkan, martabatmu akan hancur berkeping-keping. Kau akan
kalah. Telak. Rasa malu itu akan membuatmu sembunyi lama sekali hingga kau
merasa perlu membuat liang di tanah.
“Oke ....
Sip.” Johan mengakhiri obrolannya dengan Pak Wiky. Seketika omong kosong di
benakku terhenti.
“Sampai
mana tadi? Oh, kamu mau nginep, ya?”
“Ya,
Pak.”
“Jadi
kesimpulannya. Kamu beresin editing kamu selama dua hari, lembur, nginep di
kantor. Haryono kita lunasi tapi kamu jamin dia bisa beres cepat, ya!” Johan
memberikan penekanan dengan mengangkat jari telunjuknya.
Aku
hanya membalasnya dengan gumaman. Ia tampak tidak keberatan dengan responsku.
Entah apa yang dibicarakannya dengan Pak Wiky, sebegitu cepat mengubah mood-nya
menjadi ceria seperti ini.
“Oke,
lanjutin lagi kerjaan kamu,” ia mengarahkan telapak tangannya pada pintu
keluar.
“Baik,
Pak,” kataku seraya beranjak dan berbalik.
Dengan
enteng aku berjalan menuju pintu, maka sesaat setelah aku keluar dari
ruangannya, senyumku merekah. Ini kali pertama seseorang keluar dengan senyuman
setelah menghadapi pengadilan Johan. Kulihat Eva tengah berdiskusi dengan Mario.
Mereka menatapku heran. Pandangan mereka mengikutiku seolah sedang menyaksikan
hal paling aneh dalam hidup mereka. Kukedipkan sebelah mataku dan mereka pun
ternganga.
Oke, jadi
begini rencananya ... malam ini aku akan menginap di kantor, mengerjakan sisa suntinganku,
dan pastinya menyempatkan diri untuk mencari “kotak pandora” di ruangan Johan. Seperti
biasa, seperti malam-malam sebelumnya semenjak aku memiliki kelebihan ini, aku tak akan tidur. Ini
hari ketiga “kesadaran tanpa jeda” dalam hidupku.
....
Komentar
Posting Komentar