Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2015

Antara Aku dan Si Tikus Kecil

Malam itu, seekor tikus kecil masuk begitu saja lewat celah pintu kamarku yang sempit—pintu kamarku sudah tak sebagus dulu, ada celah di pojok bawahnya. Si tikus berlari masuk dari luar kamar lewat celah itu lalu berbelok menyusuri tepian dinding. Sempat kukira itu cecak, karena pernah  beberapa kali aku melihat cecak yang terjatuh atau mungkin sengaja menjatuhkan diri. Tapi begitu aku sadar bahwa cecak tak secepat itu larinya—dan tentu saja mereka tak berwarna hitam—langsung aku tersentak dan berdiri di atas kasur. Si tikus juga kaget, kini dia bersembunyi di belakang ranselku yang tegeletak di lantai. Aku masih ternganga, memandangi daerah di sekitar ransel itu, berjaga-jaga kalau si tikus berlari menuju ke arahku. Tak terjadi apa-apa, kuberanikan diri melangkah dan mendekati ranselku. Saat aku melangkahkan kaki, si tikus sepertinya diam tak berani bergerak … tapi pada langkah kedua, pijakan kakiku membuat lantai kamar berdecit. Maklumlah, aku tidur di loteng yang berlantai kayu.

Hari-Hari Si Ngatijo

Setiap malam Ngatijo tidak pernah tidur pulas. Ia kerap membolak-balikkan badannya di atas ranjang, berganti posisi karena Ngatijo tidak kunjung merasa nyaman. Lelaki tua yang ubanan itu belum juga makmur di usianya yang senja, masih saja melarat. Malam itu, sesekali Ngatijo merasakan sakit di kepala, snut-snutan. Keningnya pasti terasa nikmat bila dipijat – andai ada orang yang memijatnya, begitu pikirnya. Ranjang tempat ia berbaring tak lagi empuk, rasanya hanya seperti rebahan di atas dipan yang dilapis lipatan dan kerutan kain butut. Jika Ngatijo sedikit saja bergerak, suara derit yang parau bakal terdengar – seperti bunyi sesuatu yang terjepit di antara dipan dan kasurnya. Lalu tiba-tiba, kedua matanya seketika terbuka, dalam benaknya terlontar sebuah pertanyaan: waduh, besok ngutang sama siapa lagi ya?             Malam merangkak lambat, bulan purnama terang, namun alam sudah sunyi dan kian tenang. Di dapur rumah Ngatijo, tikus dan cecurut di dekat tungku sedang rapat, tengah

Hebatnya Dunia Pemahat-Kata

Bekerja di dunia tulis-menulis membuat saya semakin bersyukur. Mengapa? Apa hubungannya antara menulis dan bersyukur? Sebelum saya menjawabnya, akan saya ceritakan dulu bagaimana saya bekerja setiap hari …. Komputer hampir seperti segalanya bagi saya, bahkan paras monitornya lebih sering saya tatap ketimbang wajah istri saya sendiri. Saya selalu duduk manis di depan layarnya ketika di kantor. Atau saat saya membawa pekerjaan kantor ke rumah, si komputer akan duduk manis di pangkuan saya. Ini menyadarkan saya mengapa komputer jinjing itu disebut laptop. Lalu, begitu menyalakan komputer, masuklah saya ke “dunia lain”. Dunia yang mengizinkan saya melakukan apa saja. Dunia yang—setidaknya untuk sementara waktu—membolehkan saya membuat kesalahan, sebanyak dan sefatal apa pun itu. Dunia yang tak mengenal kata menyesal sebab segalanya bisa saya sunting kemudian. Kata “menyunting”, selalu menyenangkan bagi saya—in every sense of the words. Inilah dunia saya: dunia pemahat-kata. Dari puluh

Ummm ....

Gambar
Ya dan tidak, ternyata sama saja. Ada yang bisa bantu saya? =p