Pandemi, Ekonomi, dan Wajah Kita Saat Ini


2020 akan menjadi sejarah, bagaimana miliaran penduduk bumi dihadapkan pada situasi yang tak pasti. Suatu kondisi yang tidak pernah terbayang sebelumnya oleh siapa pun: ketika kehidupan normal berubah secara drastis hanya dalam waktu tak lebih dari tiga bulan. Jalan-jalan yang ramai, antrean yang mengular di tempat hiburan dan rekreasi, hiruk-pikuk pasar, ramainya konser, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang melibatkan massa, tiba-tiba diharamkan. Jalan berubah lengang, keramaian dilarang, bahkan sekadar nongkrong dengan tetangga pun jadi hal yang mengundang keresahan. Inilah masa ketika sejarah mencatat sebuah ancaman serius pada peradaban: pandemi covid-19.

Media massa santer mengabarkan bahwa pandemi ini bermula di Wuhan, ibukota Provinsi Hubei di Republik Rakyat Tiongkok. Pada 31 Desember 2019, masyarakat dan kalangan medis dihebohkan dengan penyakit misterius serupa pneumonia. Berawal dari 7 kasus, 19 kasus, 44 kasus, dan selanjutnya laporan-laporan kasus baru merebak begitu cepat bagaikan postingan yang viral di media sosial. Berawal dari sebuah kota, Tiongkok diteror wabah yang belum jelas asal-muasal serta apa pemicunya. Baru pada 7 Januari 2020, otoritas Tiongkok mengumumkan bahwa virus corona jenis baru merupakan biang keladi wabah tersebut . Wabah tersebut diduga bersumber dari pasar seafood Huanan di Wuhan, ditularkan dari hewan liar yang dijajakan di sana. Ketika itu, para ahli masih belum yakin bahwa virus tersebut dapat menular antarmanusia, mereka mengira bahwa virus tersebut hanya ditularkan dari hewan ke manusia. Pada fase-fase awal wabah tersebut, para peneliti menamakan virus tersebut novel coronavirus, sebuah nama yang hanya bermakna sebagai “virus corona baru”. Belakangan, WHO menamai virus ini secara resmi sebagai Sars-Cov-2, dengan penyakitnya yang dinamakan covid-19. Pada 21 Januari 2020, WHO mengonfirmasi bahwa virus ini dapat ditularkan antarmanusia. 

Wabah kini menjelma sebuah ancaman yang serius: puluhan, ratusan, lalu ribuan penduduk Wuhan terjangkit. Pemerintah lokal Wuhan lantas menetapkan lock-down, suatu protokol karantina maksimal demi meredam wabah tersebut agar tidak kian meluas. Tapi apa daya, agresivitas virus lebih cepat daripada gerak penangkalan otoritas RRT. Berawal dari provinsi Hubei, virus secara merata menjadi epidemi di RRT. Masih pada bulan yang sama, satu demi satu negara lain melaporkan kasus coronavirus. Globalisasi dan cairnya mobilitas manusia di era modern menunjukkan sisi mata pisau yang mencelakakan. 

Mimpi buruk covid pun sampai juga ke Indonesia. Pada 2 Maret 2020, Presiden Joko Widodo mengumumkan dua kasus pertama covid-19 di Indonesia. Publik pun panik sebab sebelumnya merasa aman-aman saja. Mitos kadung berkembang, bahwa orang Indonesia kebal covid, bahwa iklim tropis Indonesia mampu melumpuhkan virus tersebut. Kunyit, jahe, temu lawak, dan rempah-rempah lain yang sering dikonsumsi orang Indonesia disebut-sebut “mungkin” telah ampuh menangkal covid-19. Tapi nyatanya, begitu dua kasus pertama tadi diungkap, semua klaim tersebut patah, masyarakat pun gelisah, dan pemerintah pun dituding gegabah, lantaran dinilai terlalu menganggap enteng ancaman corona. Masyarakat sempat latah dengan belanja ala panic buying, namun untungnya tren seperti ini hanya sesaat. Namun, diari pandemi covid di Indonesia tidak menggembirakan, belum genap dua bulan semenjak kasus pertama resmi dilaporkan, kasus nasional di Indonesia melonjak menjadi 10.551 kasus positif . 

Sebelumnya, pada 11 Maret 2020, WHO mengumumkan bahwa covid-19 menjadi pandemi global. Hingga saat ini (ketika tulisan ini dibuat), sore, 1 Mei 2020, covid-19 dilaporkan telah menjangkiti 3.330.803 orang dengan angka kematian 234.769 kasus di lebih dari 210 negara. Semua berawal dari sebuah pasar ikan, lalu merebak cepat, hingga menjadi ancaman bagi seluruh negara dan penduduk dunia.

Kendatipun bersikeras tidak menjadikan lock-down atau karantina total sebagai opsi, pemerintah pusat pada akhirnya menerapkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) bagi wilayah-wilayah yang memenuhi persyaratan. Opsi ini dinilai sebagai protokol semi lock-down dengan kriteria yang lebih longgar. Masyarakat boleh keluar rumah asal punya kepentingan mendesak, usaha-usaha memang dibatasi dan dilarang beroperasi, tapi sektor vital diizinkan tetap berjalan. 

Kondisi mewabahnya covid-19 di Indonesia memukul telak perekonomian nasional. Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menyampaikan bahwa proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia berkisar 2,3%. Namun, skenario terburuknya, ekonomi RI minus hingga 0,4 persen . Rakyat kecil dan para pekerja informal merupakan bukti nyata yang dapat di-indera tentang bagaimana covid-19 mengancam kita. Pada dasarnya, pandemi covid-19 di Indonesia menerpa semua lini usaha, baik produk maupun jasa, industri maupun UMKM. Covid-19 ibarat sebuah entakan di atas tebing salju yang menyebabkan lapisan es merambat retak, meluruhkan lapisan demi lapisan, hingga menjadi longsoran besar yang membinasakan.

Dalam kelangsungan bisnis, terdapat beberapa elemen inti, yakni modal, bahan baku, dan SDM , lalu satu hal yang menyempurnakan semuanya adalah “permintaan” atau demand. Pandemi covid-19 di Indonesia menggerus semua sektor usaha, dan mutlak memengaruhi elemen-elemen inti tersebut. Dengan adanya biaya-biaya dan kerugian selama pandemi, menyebabkan modal yang dianggarkan untuk periode mendatang terpaksa dialokasikan untuk upaya recovery atau pemulihan. Adapun bahan baku terancam mengalami kemacetan suplai. Bahan baku kemasan semacam botol dan kemasan plastik, tiba-tiba mendapatkan order kelewat melimpah untuk melayani kebutuhan produk desinfektan maupun hand sanitizer. Tapi imbasnya, produk lain yang menggunakan bahan sejenis, sempat mengalami kelangkaan suplai kemasan. Bahan-bahan kimia tak luput pula, seperti alkohol dan etanol, mengalami kelangkaan sebab masyarakat berupaya membuat sanitizer sendiri, belum lagi bermunculan farmasi dadakan yang meracik dan menjual berbagai produk disinfektan secara serampangan. Bahan baku untuk produk lain juga tidak bisa dibilang aman. Misalnya produk makanan seperti, gula, terigu, dan bahan-bahan lainnya yang sempat dikhawatirkan langka karena banyak orang yang melakukan penimbunan. Pabrik-pabrik juga mengurangi volume produksi sebab terjadi pengurangan jam kerja dan pemberlakuan sistem shift bagi karyawannya. 

Stabilitas bisnis goyah. Produksi mengalami pembatasan, dan pada waktu yang bersamaan, daya beli masyarakat juga anjlok sebagai imbas dari perusahaan-perusahaan yang terkena aturan PSBB sehingga harus merumahkan hingga mem-PHK karyawannya. Dalam kondisi demikian, komoditas yang tersedia di pasar pun tingkat keterserapannya mengalami penurunan. Tapi bagi jenis-jenis bisnis yang tergolong kebutuhan pokok dan substitusinya, hingga kesehatan dan obat-obatan, cenderung stabil bahkan mengalami peningkatan. Terlebih jika bantuan pemerintah telah merata tersebar, maka konsumsi masyarakat terhadap bahan makanan dan kesehatan akan meningkat karena telah menjadi prioritas dalam anggaran rumah tangga, sementara kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersier kurang dilirik. Sektor wisata atau rekreasi tak usah ditanya. 

Tapi, covid-19 juga memunculkan suatu tren yang unik, yakni ketika banyak orang yang sebelumnya bekerja kantoran dan bekerja di rumah (Work From Home), atau yang dirumahkan, atau bahkan yang terkena PHK, kini beralih profesi menjadi agen, distributor, hingga reseller dadakan. Mulai bisnis masker, hand sanitizer, atau produk-produk penguat imun. Ada pula yang benar-benar berwirausaha hingga mengeluarkan modal untuk memulai bisnisnya sendiri. Maka, pandemi covid-19 di Indonesia seolah mendorong masyarakat untuk belajar memulai wirausaha, apa pun motif dan latar belakangnya; entah untuk menambah penghasilan atau justru menjadi sumber nafkah utama.

Pandemi covid-19 juga menghantam geliat usaha yang biasanya marak ketika Ramadan yang jatuh pada bulan April ini. Bisnis musiman yang menjamur kala Ramadan, misalnya kuliner takjil, busana muslim, jualan rendang hingga kurma ajwa, kini tak jelas seperti apa nasibnya. Ramadan yang identik dengan bulan penuh berkah karena tambahan rezeki, kini pasti tak semeriah ketika sebelum pandemi melanda. Jangankan bicara soal THR, pemasukan rutin buat sebagian orang, malah raib. Praktis hanya mengandalkan program bantuan pemerintah yang jelas tidak sebanding dengan pendapatan di masa-masa normal.

Pandemi covid-19 di Indonesia mengubah pola hidup masyarakat secara drastis. Kebiasaan rekreasi atau piknik di akhir pekan, kebiasaan wisata kuliner, kongkow, bertamu, hingga ibadah berjamaah pun tak lagi kita temui. Itu semua menjadi hal yang mahal. Jadi, tak hanya harga komoditas yang merangkak mahal, kebersamaan pun menjadi sesuatu yang sulit diperoleh dan mewah. 

Pandemi covid-19 ini telah mengubah wajah kita sekaligus cara pandang kita terhadap banyak hal. Kini, tugas kita semua untuk memupuk optimisme, berharap akan sebuah happy ending dari kisah pandemi ini. Prioritas kita hanyalah menjadi sehat dan tetap sehat. Tanpa masyarakat yang sehat, ekonomi jelas tidak akan berjalan. Jadi, keliru sebenarnya jika orang melulu bicara ekonomi di tengah pandemi, sebab apa jadinya jika ekonomi ada, ketika hampir semua manusia meregang nyawa.[]

sumber:
- Jenny Lei Ravelo, Sara Jerving. COVID-19—a timeline of the coronavirus outbreak.devex.com
- WHO Timeline - COVID-19. www.who.it
- Giovani Dio Prasasti. liputan6.com
- CNNindonesia.com
- Pengertian Bisnis, Jenis Bisnis, Elemen Bisnis. Ilmuakuntansi.co.id


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hebatnya Dunia Pemahat-Kata

Hanya 10 Menit (saduran; lupa sumbernya)

Kala Coretan Berarti Segalanya