Sawang - OUTLINE




M

alam pekat. Sebuah rumah tampak berdiri kokoh. Tak terlalu besar. Tepat di depannya, sepetak halaman kecil yang ditumbuhi rerumputan dan bunga-bungaan sekadarnya, menjadi pemanis di bagian muka. Sepertinya telah berminggu-minggu mereka tak terurus dan ditelantarkan. Rumah itu bukan rumah tua yang usang, ia rumah yang cukup nyaman untuk ditinggali.

Selangkah dari tepi halaman yang tak seberapa luas itu, terdapat sepetak teras. Sementara pintu utama merupakan pintu dengan ukuran yang cukup besar dengan desain sederhana, berpadan dengan sepasang jendela yang mengapitnya di kedua sisi secara simetris. Di lantai dua, sepasang jendela lainnya berbentuk ramping dengan kaca bermozaik warna-warni menambah sentuhan estetis pada bagian atas bangunan.

Suara jangkrik nyaring. Bulan terang, tapi ia hanya mampu membuat pantulan cahaya lembut pada dedaunan, pohon, rumput, dan tentu saja, pada bangunan rumah itu yang sunyi dan redup.

Sawang tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Pria muda itu terenyak kaget. Sebentar ia terdiam. Ruangan tempat dia beristirahat itu bernuansa remang-remang. Wajah Sawang memperlihatkan kekalutan. Malam itu, Sawang terbangun dengan napas memburu.

***

Malam berikutnya. Rerumputan dan bunga-bungaan di halaman masih membisu. Dingin dan tak bergairah. Seolah mereka menampakkan warnanya hanya ketika cahaya matahari mencumbui bumi. Di dalam, seekor serangga terbang menari di dekat bola lampu yang terpasang pada lelangit di lantai dua. Kepak sayapnya sesekali menyentuh plafon, menimbulkan suara yang mengganggu. Tapi Sawang tak menghiraukannya, ia masih asyik bersandar ke dinding sambil membaca sebuah buku.

Ruangan di lantai dua itu cukup lapang; terdapat void (area kosong) di sisi lainnya, menyediakan pemandangan yang mengarah langsung ke lantai satu. Sawang menjadikan lantai dua itu sebagai ruang rekreasi. Ia bahkan sering tidur di ruangan itu. Saat ini, ia terpekur pada sebuah buku: Melawan Tipuan Setan. Ekspresi Sawang serius, mencerna kata demi kata, meresapi setiap pesan dan maknanya. Hening, hanya Sawang seorang diri di rumah itu.

Namun, Sawang lantas tersentak. Suara yang entah apa—seperti suara benda jatuh atau dilempar—terdengar dari luar rumahnya. Senyap, cekam siap menerkam. Pikirannya menolak mentah-mentah kalau itu hanya ulah seekor kucing gelandangan.

Sawang berdiri, lantas berjalan menuju tangga. Menjejak anak tangga satu per satu. Bayangannya yang tampak pada dinding mengikutinya. Ia bergerak pelan dan tenang seakan tak ingin tepergok. Tangan Sawang memegangi railing tangga, meliuk mengikuti sudut kelokannya. Walaupun batinnya tak tenang, ia tak sampai mencengkeram pegangan tangga itu. Ia berjalan menapaki tangga dengan luwes.

Sesampainya di lantai satu, Sawang mulai berjalan mengendap. Pelan-pelan ia mendekat menuju jendela di ruang tamu. Di luar bagai tak ada cahaya, nyaris gulita. Ia dekatkan kepalanya ke jendela. Mata Sawang berusaha mencari sesuatu yang ia pun tak yakin sedang mencari apa. Dahinya berkerut. Ia mengamati, menyapu pandangannya dari kanan ke kiri. Lalu pada satu titik, ia terperanjat.

Ada sosok yang tengah berdiri di sana. Laki-laki? Tak jelas. Ia berdiri di jalan, tak terlalu jauh dari halaman depan rumahnya. Manusiakah? Sawang menelan ludah. Ia menundukkan kepala sejenak untuk berpikir, mencoba berkompromi dan meredakan rasa kaget itu. Sesaat kemudian, ia kembali melihat ke arah luar. Sosok itu masih berdiri di sana. Seperti apa rupa atau wajahnya, ia tak tahu persis. Tapi, Sawang menaksir bahwa sosok itu merupakan bentuk seorang laki-laki. Sawang lalu mengalihkan pandangan ke jam di belakangnya, jam bundar itu menempel di dinding dekat tangga: 00.30. Namun saat ia kembali mengarahkan pandangan ke luar .... Sosok itu tak lagi ia temui di tempatnya tadi. Raib. Sawang kalut. Kini nyata benar kalau ia merasa takut. Maka mulai saat itu, pikiran Sawang sering tak tenang.

***

Malam kesekian setelah “penampakan” sosok itu, Sawang kembali terbangun dengan perasaan gundah. Ia lalu memutuskan untuk membasahi tenggorokannya dengan air putih. Saat ia menuju dapur, Sawang tiba-tiba menghentikan langkahnya, telinganya menangkap bunyi yang terdengar cukup akrab. Ya, suara itu. Ia mendongak ke atas. Seekor serangga tampak bermain-main dengan bola lampu di lantai dua. Mungkin masih serangga yang sama. Sudah berapa malam atau berapa kali ia menyatroni rumah itu? Sawang tak ingat dan tak mempermasalahkannya. Ia anggap serangga itu teman. Sawang tersenyum kecil.

Sawang melanjutkan langkahnya menuju dapur. Diambilnya sebuah gelas. Ia kemudian menggelontorkan air dari keran dispenser. Saat ia hendak meneguk air di dalam gelas, suara gonggong anjing mengagetkan Sawang, anjing di sekitar sana tiba-tiba menyalak dan menggonggong liar. Secara spontan, Sawang menengok ke jendela, pandangannya menerawang ke luar. Denah rumah itu menempatkan ruang tamu, sebuah kamar, dan dapur berdampingan. Tata ruang itu membuat orang yang berada di dapur dapat melihat dengan jelas bagian depan rumah, memandang dari jendela dapur yang langsung mengarah ke luar.

Saat Sawang melihat ke luar melalui jendela dapur, ia terperanjat. Sawang kembali melihat sosok misterius di depan rumah itu. Kini ia berdiri lebih dekat daripada sebelumnya, di dekat halaman, di samping tanaman yang tumbuh hampir setinggi orang dewasa. Kali ini, Sawang yakin benar bahwa itu adalah sosok yang menyerupai seorang laki-laki. Sawang juga tahu kalau itu masih sosok yang sama. Tubuhnya terlihat tegap, sedikit gempal. Sawang ternganga. “Siapa di luar ...” gumamnya lemah.

Sawang beringsut mundur. Meletakkan gelas dengan agak serampangan di sisi wastafel, lalu berbalik dan berjalan sambil menundukkan kepala dengan tatapan kosong. Ia menuju tangga hendak ke lantai dua. Sawang tak tahu mengapa ia memutuskan untuk bergerak ke lantai dua. Tak ada alasan pasti untuk itu. Satu hal yang Sawang tahu, ia ingin menjauh dari sosok yang tengah berdiri di luar.

Maka pada anak tangga kesekian, Sawang terdorong untuk menengok kembali ke arah jendela dapur. Lebih karena penasaran yang dipicu kenekatan. Benar saja, sosok itu masih berdiri di sana. Sawang memicingkan mata, tertegun sejenak. Memperhatikan baik-baik sosok itu. Setelah kembali tersadar dengan situasi yang tengah ia hadapi, Sawang buru-buru melanjutkan langkahnya menaiki tangga. Sesampainya di lantai dua, Sawang berjalan ke ujung ruangan, tampak sehelai matras tergeletak di sana.

Sawang merebahkan diri, memutar badan hingga sepenuhnya menghadap ke tembok. Ia meringkuk. Perasaan-perasaan ganjil mulai menjamahi Sawang. Ia terjaga sepanjang malam dengan kecamuk di pikirannya. Sementara, serangga itu masih terbang seperti orang mabuk, menari, menabrak-nabrak plafon dan bola lampu, menimbulkan suara berisik yang mengganggu.

***



Malam berikutnya, Sawang tak menyangka ia bakal dipaksa menyerah. Saat itu, ia tengah bersantai di sebuah sofa untuk melanjutkan bacaannya, Melawan Tipuan Setan. Tapi tiba-tiba, ia tersentak oleh suara-suara dari arah luar. Apalagi ini?

Ia melempar buku itu ke sofa. Sawang segera beranjak menuju jendela. Beringsut, mengendap. Akhirnya ia sampai juga ke dekat jendela di kamar itu, lalu menengok ke arah luar. Sawang tak percaya dengan apa yang ia lihat. Ia melihat dua sosok yang tengah berdiri di luar sana. Penampakan malam itu terlihat lebih dramatis. Salah satu dari dua sosok itu berpendar, mengeluarkan cahaya lembut kehijauan. Cepat-cepat Sawang membalikkan badan, ia merosot dan terduduk di lantai. Ia menyandarkan tubuhnya pada tembok, persis di bawah jendela itu. “Cukup, gue mesti pindah dari rumah ini!” kata Sawang kesal. Napasnya terengah. Keringat dingin membasahi keningnya. Sejurus kemudian, Sawang berdiri, ia memutuskan untuk pindah dari rumah itu. Malam itu juga.

Di luar rumah. Tepat ketika Sawang duduk di lantai dan tersandar pada tembok setelah menyaksikan keanehan yang menurutnya kian menggila, dua orang tengah berdiri di luar, memperhatikan rumah itu dengan jantung berdebar.

“Bang, kejadiannya pasti malam-malam. Jam seginian, lah,” kata seorang pria berpostur tegap dan sedikit gempal.

Orang yang dipanggil “abang” itu hanya mengangguk. Ia mengamati rumah itu dari sudut ke sudut, dari atas sampai bawah, seperti tengah menilai orang asing yang berpenampilan tak wajar.

“Kalau siang, sih, nggak ada apa-apa, Bang. Tapi kalau malam, suasananya langsung nggak enak. Lampu suka nyala sendiri. Barang-barang kadang hilang, taunya pindah tempat. Suara-suara di kamar mandi. Lama-lama saya nggak tahan,” lanjut pria itu.

“Dia takut matahari. Kalau siang dia sembunyi, mungkin istirahat juga. Malam baru dia ‘bangun’,” kata lawan bicaranya dengan nada datar.

Pria di sebelahnya hanya mengangguk, mulutnya mengerucut. Seolah paham dengan asumsi itu.

“Saya udah pastiin, Bang. Rumah ini memang ada yang ngisi. Abang kan orang pintar, pasti bisa ngerasain, kan?” kata si pria gempal.

Flashback 1...

Pria gempal itu sampai di depan rumah miliknya yang telah berminggu-minggu ia tinggalkan. Memperhatikan isi rumah dari luar. Lantai dua rumah itu temaram oleh cahaya dari dalam ruangan. Mengherankan. Ia membuang ke jalan sebuah kaleng bekas minuman soda yang isinya telah habis ia minum, menimbulkan bunyi kelontang yang cukup nyaring. Ia memperhatikan lagi dengan teliti rumah itu. Matanya awas, memaku ke arah jendela depan di lantai satu. Lalu beberapa saat kemudian, ia bergidik.

Flashback 2 ...

Larut malam lainnya, pria itu kembali mengamati rumahnya. Anjing menggonggong tak mau diam. Pria itu tak mengacuhkannya. Wajar kalau anjing tak bisa tenang, mungkin mereka merasakan kehadiran setan, pikirnya. Kali ini ia mengambil posisi yang lebih dekat ke halaman. Ia berdiri di samping sebuah tanaman setinggi dadanya. Lalu, seketika ia mengalihkan pandangan ke arah dapur saat ia mendengar suara-suara gaduh dari dalam sana. Ia berhasil memberanikan diri, tetap berdiri di sana sambil memperhatikan sosok yang bergerak-gerak di dalam rumah.

Back to present ...

“Gimana, Bang?” tanya si pria gempal kepada orang di sebelahnya.

“Ya, kita usir dia sekarang, bahan-bahannya udah saya bawa, kok.”

Mereka berjalan menuju pintu dengan langkah meyakinkan. Pria yang dipanggil “abang” memegang sesuatu yang terbungkus kain kumal di tangan kanannya. Saat mereka hampir mencapai pintu depan, ruangan di lantai dua tak lagi gelap. Dari dalam, cahaya lampu berkedip-kedip tak keruan. Sawang terusik, ia panik![Luttfi Fatahillah]





~ END ~

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hebatnya Dunia Pemahat-Kata

Kala Coretan Berarti Segalanya