Rokok Tak Senikmat Dulu



Isu sudah kadung menyebar, harga rokok akan naik drastis. Jika saja benar-benar terjadi, orang harus rela merogoh koceknya lebih dalam agar bisa mengisap uap nikotin, tar, krom, timbal, hidrogen sianida, dan kroninya ke dalam paru-paru. Tak sedikit orang yang mulai bersungut-sungut mengomentari wacana ini. Sebentar lagi harga rokok naik, minimal Rp50.000 per bungkus. Komoditas yang dalam billboard-billboard besar di jalanan selalu dipampang dengan atribut “membunuhmu” ini, harganya tak lagi bisa dibilang murah. Tentu tak begitu saja harga rokok bisa dinaikkan, perlu ada kajian mendalam dari sisi ekonomi, industri, petani, hingga sektor lapangan kerja.
Wacana ini muncul setelah dirilisnya sebuah penelitian yang dilakukan oleh para akademisi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Simpulan dari penelitian itu menyatakan bahwa ada keterkaitan yang erat antara harga rokok dan jumlah perokok. Tim peneliti mengungkap bahwa mayoritas perokok (jumlahnya sampai 70-an persen dari populasi), akan berhenti merokok jika harga rokok dinaikkan dua kali lipat. Sepintas, masuk akal. Jika harga naik, permintaan akan berkurang. Berangkat dari hasil penelitian itu, muncul gagasan untuk menaikkan harga rokok agar masyarakat bolak-balik berpikir sebelum membelanjakan uangnya demi segulungan koktail kimia yang disebut rokok. Harapannya, pelan-pelan jumlah perokok akan menurun.
Tapi rasanya tak sesederhana itu. Ini pandangan saya sebagai orang awam, saya tidak pernah melakukan penelitian, pun bukan kapasitas saya untuk memberikan penilaian tentang ini. Hanya saja, saya agak tergelitik, kala memikirkan seperti apa sesungguhnya (dan apa yang terjadi) di dalam benak seorang perokok. Katakanlah harga rokok jadi naik. Si perokok berpikir tujuh kali saat hendak membeli rokok, ia berniat untuk mengurangi jatah konsumsi rokoknya. Tapi kemudian, pada satu titik ia dilanda galau dan semakin terpojok, hingga tergoda untuk memaksakan diri membeli sebungkus rokok supaya ia bisa tetap merokok seperti sedia kala. Rokok itu adiktif, persis dengan narkoba. Apa pernah dengar pengguna narkoba yang berhenti madat karena harga narkoba yang mahal? Kemungkinannya kecil sekali (kalau tidak mau dibilang “tidak mungkin”). Yang ada malah kondisinya semakin parah. Si pecandu bisa melakukan apa saja demi memperoleh rupiah untuk digunakan membeli narkoba. Sudah jadi kebenaran umum bahwa ada banyak orang yang melakukan tindak kriminal ataupun asusila agar mampu membeli narkoba langganannya. Demikian halnya dengan rokok. Salah-salah orang malah nekat. Saya tak akan membuat andai-andai yang menakutkan, tapi coba bayangkanlah bagaimana jika si perokok jadi rajin menabung. Ia menyisihkan sedikit harta dan rezekinya agar bisa membeli sebungkus gulungan koktail kimia itu. Jumlah yang apabila dikumpulkan mungkin bisa digunakan untuk menyekolahkan anak atau dijadikan modal usaha. Stres pun rentan menjamur, sebab mereka yang penghasilannya pas-pasan—yang hanya bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari—jelas tak akan mampu meng-cover “kebutuhan”-nya akan rokok.
Adakah hal lain yang perlu kita tengok? Misalnya, apa yang terjadi dengan para perokok berduit? Para perokok berduit boleh jadi tidak masuk dalam populasi yang diteliti oleh para akademisi tadi. Atau mungkin porsinya tak dapat jatah besar dalam sampel penelitian itu. Orang kaya atau yang punya penghasilan berlebih jelas tak akan terpengaruh. Mau harga rokok berapapun tak akan terlalu diambil pusing. Kebiasaan merokok tetap jalan, ia masih mampu petantang-petenteng, bahkan kali ini dengan prestise yang berlipat, sebab rokok bukan lagi barang murah. Lalu, bagaimana dengan produsen rokok? Akankah mereka terpengaruh? Akankah mereka jadi gulung tikar (alih-alih gulung tembakau)? Bisa jadi tidak secepat itu, sebab bagi para pecandu rokok, merokok adalah “kebutuhan” dan bukan sekadar gaya hidup yang hanya diberi label tersier. Lalu para produsen rokok dengan konsumen dari lapisan masyarakat yang berduit bagaimana? Tidak terlalu banyak pengaruhnya bagi mereka. Bagi rokok lokal pun, kenaikan cukai rokok juga tidak cukup berdampak. Apa yang sesungguhnya menjadi perhatian mereka ialah rokok-rokok impor, yang kini melahap 60% dari pangsa pasar Indonesia. Itulah yang sejak lama mereka khawatirkan. Apapun yang terjadi—jika harga rokok benar-benar naik—Indonesia tidak lantas kiamat.
Pendapatan APBN dari rokok mencapai ratusan triliun, dan tren-nya terus meningkat dari tahun ke tahun. Di samping itu, industri rokok adalah penyumbang devisa terbesar, bahkan jauh lebih besar daripada penerimaan sektor migas. Soal kenaikan harga rokok ini memang perlu pertimbangan masak-masak, ini bicara realitas. Misalnya saja, kita mesti memperhatikan nasib para petani tembakau. Lalu fakta bahwa jumlah tenaga kerja yang terserap oleh industri rokok angkanya mencapai jutaan kepala. Di tengah perjuangan melawan pengangguran, jumlah angkatan kerja sebanyak itu tak dapat dipandang sebelah mata. Ya, jika industri rokok dimandulkan atau bahkan dihentikan, seolah-olah dunia kiamat. Tapi, ingatlah, bahwa bertahun-tahun lamanya industri rokok memberikan “sumbangan” yang luar biasa besar bagi APBN dan devisa kita. Apakah tidak pernah selintas pun terpikir, cobalah dari nilai yang triliunan itu kita alokasikan sekian persen untuk membangun industri baru, disisihkan setiap tahun. Model industri baru itu harus mampu merangkul para pengusaha, petani, pekerja, atau siapa pun pemangku kepentingan yang terasosiasi dengan industri rokok. Carilah suatu solusi, suatu terobosan yang dapat menjadi substitusi industri rokok. Ada jutaan orang pintar di Indonesia, mestinya salah seorang dari mereka mampu mendobrak kejumudan ini.
“Rokok membunuhmu” adalah ungkapan yang dramatis untuk menggambarkan bahaya rokok. Lebih miris lagi ketika kita saksikan kata-kata itu terpampang jelas di iklan-iklan, di kemasan rokok, bahkan di papan-papan reklame sebesar alaihum gambreng yang bertebaran di jalan. Logikanya seperti ini: sudah jelas rokok itu bahaya, sudah jelas rokok itu bisa bikin paru-paru kita kian berongga. Tapi mengapa ia masih diiklankan dan dijual bebas mulai warung-warung di gang sampai toko swalayan di pinggir jalan? padahal kata-kata horor “rokok membunuhmu” ada di setiap bentuk pariwara rokok. Kita membacanya di mana-mana hampir setiap hari, di televisi, poster, hingga reklame raksasa yang nampang dengan begitu mencolok di jalan-jalan besar. Jika tahu benda itu dapat membunuh, mengapa ia masih diiklankan begitu rupa secara masif?
Ini opini saya. Anda kira saya bukan perokok? Jangan salah, saya juga perokok … pasif. Anda juga mungkin perokok pasif, ibu anda juga, anak anda juga, tetangga anda yang sedang hamil juga, bahkan bayi dan anak-anak anda juga. Banyak dari kita adalah perokok … pasif. 
Jadi, rokok akan naik harganya? Saya bukan orang yang apatis, juga tak suka senang sikap apriori. Saya hanya bisa berimajinasi dan menyuarakan opini. Menurut saya, naiknya harga rokok tak akan banyak membantu. Saat ini kita hanya punya satu solusi: berhentilah merokok. Teman-teman yang sekarang masih merokok harus camkan bahwa merokok adalah aktivitas yang merusak, tak hanya pribadi, tapi juga masyarakat. Ia juga mengancam generasi penerus kita. Jika mereka para pecandu narkoba saja ada yang sanggup bertobat, maka mengapa anda kalah dan menyerah hanya karena sejumput koktail kimia yang disebut rokok? Ini bukan soal bisa atau tidak; mungkin atau mustahil; ini soal “mau” atau “tidak”. Titik.[Luttfi Fatahillah]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hebatnya Dunia Pemahat-Kata

Kala Coretan Berarti Segalanya

Sawang - OUTLINE