Wejangan Sir Muhammad Iqbal dan Literasi di Pesantren
Sastrawan, filosof, sekaligus reformis asal Pakistan, Sir
Muhammad Iqbal, pernah memberikan wejangannya tentang menulis. Menurutnya, kemampuan
menulis sebagai buah dari intelektualitas dapat diasah dengan empat jenis
bacaan. Tak hanya menjadikan keahlian menulis kita semakin baik, secara umum
kapasitas kita sebagai manusia pun akan ikut terbangun. Ia menuturkan: “Bacalah
empat jenis bacaan. Pertama, bacaan tentang agamamu; kedua, buku-buku sastra;
ketiga, bacaan-bacaan yang berhubungan dengan pekerjaan, keahlian, atau
kesenanganmu; dan keempat, bacaan dengan tema yang sama sekali kamu tidak
menguasai atau bahkan tidak kamu sukai.”
Pertama, membaca bacaan atau
buku-buku yang berhubungan dengan agama kita. Muhammad Iqbal ialah seorang
muslim, yang dengan predikat tersebut ia sadar bahwa atribut kemuslimannya senantiasa
melekat. Sebagai seorang muslim, ia tahu bahwa agama merupakan fondasi hidup.
Maka, ia menempatkan agama sebagai prioritas. Pandangan seperti ini sejatinya
bersifat universal, sebab agama—apa pun itu—berfungsi sebagai fondasi utama
dalam perikehidupan kita. Ajaran-ajaran baik dan kebijaksanaan disampaikan oleh
setiap agama. Ia merupakan ruh dan inspirasi dari setiap nilai-nilai positif
yang berkembang dalam peradaban manusia. Agama juga menjadi filter dan
rambu-rambu bagi kita dalam mengarungi kehidupan. Maka benarlah apa yang
Muhammad Iqbal katakan, pengetahuan agama seharusnya menjadi kekuatan utama
dalam menjalani hidup. Agar kekuatan itu senantiasa menyala, kesadaran serta ilmu
pengetahuan dalam beragama pun harus terjaga, yakni dengan terus memasukkan
nutrisi ke dalam jiwa kita dengan ajaran-ajaran baik dari agama yang kita anut.
Kedua, bacaan sastra. Mengapa hal
ini penting? menurut Muhammad Iqbal, membaca sastra tak ubahnya sebuah menu
untuk menajamkan perasaan. Dalam sastra, perasaan dan keadaan batin yang
sesungguhnya tak terlukiskan dapat diekspresikan menggunakan bahasa. Manakala
kita membaca dan meresapi rangkaian kata dari sebuah karya sastra, rasa kita
lewat bahasa akan kian dipertajam, menjadikannya lebih peka, jauh dari sifat
keras hati, bebal, sehingga kita lebih pandai menjaga diri dan proporsional
saat bersikap terhadap orang-orang di sekitar kita.
Ketiga, bacalah buku-buku atau bacaan
yang membahas bidang yang kita sukai atau yang kita kuasai. Bagian ini erat
kaitannya dengan aspek manusia sebagai makhluk sosial. Saat kita meningkatkan
kapasitas dan keahlian yang kita miliki, secara tak langsung keterlibatan kita
dalam kehidupan bermasyarakat akan semakin signifikan. Seorang dengan keahlian
yang tinggi akan lebih bermanfaat dan dihargai di dalam komunitasnya. Ia dapat
berkontribusi dengan keahliannya tersebut untuk membangun masyarakat. Sebagai
pribadi pun, ia akan semakin cakap, andal dalam menggunakan keahliannya yang
sudah tentu menjadi modal dan kekuatan baginya untuk mengatasi segala tantangan.
Seorang dokter harus terus mengasah ilmunya tentang kedokteran, medis, farmasi,
pengobatan, ilmu herbal, dan lain sebagainya. Seorang guru harus terus menambah
wawasan dan ilmunya tentang ilmu-ilmu pendidikan serta teknik-teknik mengajar,
dan seterusnya.
Keempat, bacalah bacaan atau buku
tentang bidang yang tidak kita sukai atau tidak kita kuasai. Mengapa hal ini
penting? Untuk apa kita mencari tahu tentang hal-hal yang tidak kita sukai?
Bukankah itu hanya buang-buang waktu? Bisa jadi anggapan itulah yang pertama
tebersit di benak kita saat mendengar wejangan ini. Tapi menurut Muhammad
Iqbal, pada hal-hal yang tidak disukai pun dapat memberikan manfaat bagi kita. Otak
kita sesungguhnya dapat menangkap dan menyimpan informasi melalui alam sadar
dan alam bawah sadar kita. Informasi-informasi yang “tidak berguna” atau tidak
menjadi prioritas untuk kita simpan dalam memori ternyata dapat menjadi semacam
potongan-potongan informasi yang dapat dipanggil sewaktu-waktu, secara sadar
atau tidak. Ia pun bisa menjadi kepingan-puzzle-pelengkap atas
pengetahuan-pengetahuan tidak tidak utuh yang pernah kita terima. Dengan
demikian, jangan lupakan untuk membaca hal-hal yang jauh dari keseharian atau
bahkan sesuatu yang tidak kita sukai. Jika informasi itu tertanam di alam bawah
sadar kita, ia dapat berguna pada saat yang tak terduga.
Wejangan Sir Muhammad Iqbal tersebut tampak kuat
mengejawantah ketika Bitread menyambangi Pondok Pesantren Daar-el Qolam di
Gintung, Tangerang. Dalam program Bitread Satu Sekolah Satu Buku – Pesantren
Menulis, tim Bitread menyaksikan langsung antusiasme dan bakat-bakat terpendam
dari para santri dan santriwati di sana. Kegiatan ini merupakan program yang
diinisiasi Bitread setelah menyadari dan menangkap adanya potensi literasi yang
luar biasa di lingkungan pesantren. Akan tetapi pada faktanya, lingkungan
pesantren tampaknya belum terlalu banyak terjamah oleh program-program literasi
mainstream yang jamak digelar. Kebanyakan program literasi yang melibatkan
pesantren lebih bersifat kegiatan workshop atau event-event lain yang sifatnya
insidental dan tak berkesinambungan. Oleh sebab itu, Bitread hadir ke hadapan masyarakat
pesantren dengan membawa sebuah program literasi yang secara kontinyu dapat
mengasah minat dan bakat mereka di bidang literasi.
Delapan puluh peserta One Day Wokrshop memadati
ruangan. Kegiatan ini gratis, tanpa memungut biaya dari para santri. Para
santri hanya diwajibkan membuat sebuah karya—cerpen, esai, atau artikel—sebagai
tiket workshop tersebut. Selama sehari, mereka dibekali pengetahuan, wawasan,
serta motivasi yang berhubungan dengan kepenulisan. Pada sesi pertama, mereka
mendapatkan informasi tentang latar belakang program Pesantren Menulis,
menyadarkan bahwa di pesantren-pesantren sebenarnya terkandung potensi literasi
yang besar. Mereka disadarkan bahwa menjadi santri adalah kekuatan yang tak dimiliki
semua orang. Sebagai seorang santri, mereka digembleng dengan pengajaran agama
yang menjadi porsi terbesar dalam keseharian mereka, mereka dituntut untuk
berdakwah dan diamanahi ilmu untuk menyebarkan risalah Islam lewat lisan dan
laku mereka. Jika mereka memiliki kemampuan menulis, hal tersebut akan semakin
menyempurnakan predikat mereka sebagai santri calon pewaris para ulama. Mereka
sadar, menjadi santri tak hanya harus pandai berorasi dan berdakwah secara
verbal, kepiawaian mereka dalam menulis pun dapat dimanfaatkan sebagai sarana
dakwah dan syiar yang efektif.
Tak ketinggalan, materi-materi motivasi pun
dipresentasikan ke hadapan mereka, membuat mereka semakin yakin arti penting
menulis, nilai luhur kegiatan menulis sebagai salah satu wujud budaya literasi.
Pada
sesi kedua selepas tengah hari, lokasi workshop beralih ke sebuah area hijau di
tepi danau. Di sana, mereka ditantang untuk
mempraktikkan ilmu dan wawasan yang mereka peroleh pada sesi pertama. Secara
individu dan berkelompok, mereka ditantang untuk mencari inspirasi, memperoleh ide, dan meramu ide
tersebut untuk dieksplorasi dalam karya yang akan mereka tulis. Hingga sesi akhir,
semangat mereka tak surut. Beberapa di antara mereka bahkan menyanyangkan bahwa
program tersebut hanya dilaksanakan dalam satu hari saja, seharusnya program
seperti ini dapat menjadi kegiatan mingguan atau bulanan yang diselenggarakan secara
rutin.
Program Pesantren Menulis sebenarnya tidak terhenti
sampai di sana. Setelah mengikuti One Day Workshop, mereka akan dibimbing dalam
program konsulitasi penerbitan selama dua bulan hingga mereka benar-benar
menerbitkan karya, baik itu karya kolektif, antologi, maupun karya individu.
Dua puluh lima karya terbaik dari karya yang mereka kirimkan sebagai tiket
workshop pun akan dipilih dan dikurasi oleh Pidi Baiq, untuk kemudian diterbitkan
dalam antologi terbaik pesantren. Bukan berarti karya-karya lainnya menguap
atau dilupakan begitu saja, karya-karya lainnya juga akan tetap dikurasi dan
dibimbing hingga menjadi sebuah naskah yang siap diproses di meja redaksi.
Aksan Taqwim Embe, pengajar Pesantren Daar-el Qolam sekaligus penulis yang
tahun lalu terpilih sebagai salah seorang emerging writers di Ubud Writers and
Readers Festival (UWRF) 2017, sangat mengapresiasi kegiatan ini. Menurutnya, kegiatan
seperti ini harus secara reguler dilasaksanakan untuk memfasilitasi potensi
para santri, utamanya dalam bidang literasi dan kepenulisan. Ia yakin bahwa
melalui program ini, dapat ditemukan benih-benih penulis dari kalangan
pesantren yang dapat berbicara banyak di kancah literasi Indonesia.
Bitread terus mengajak pesantren-pesantren dan sekolah
umum lainnya untuk dapat bergabung dalam program Satu Sekolah Satu Buku. Daar
el-Qolam tak akan menjadi perhentian pertama dan terakhir bagi program ini,
sejumlah pesantren dan sekolah lainnya telah siap bersinergi bersama Bitread
untuk mensukseskan program ini.
Kata-kata Sir Muhammad Iqbal dalam pembukaan tulisan
ini telah ada pada pribadi santri. Agama mereka telah terbina, bahkan menjadi
elemen utama dalam kurikulum pendidikan yang mereka jalani. Di pesantren tentu
tak hanya ilmu agama yang diajarkan kepada santrinya, ilmu-ilmu yang
berhubungan dengan ilmu pasti ataupun ilmu sosial turut mereka peroleh. Dengan
motivasi yang ditularkan dalam workshop ini, kehausan mereka dalam menuntut
ilmu melalui aktivitas membaca akan kian memuncak. Hal ini berimbas pula pada
minat baca mereka. Tak hanya bacaan yang mereka senangi saja, misalnya sastra
dan fiksi, bacaan-bacaan yang sesuai dengan bidang keilmuan dan keahlian yang
mereka sukai pun tak akan luput sebagai bahan bacaan mereka.
Bitread Satu Sekolah Satu Buku – Pesantren Menulis akan
menjadi tonggak peningkatan kapasitas santri dalam menjalankan segala fungsi
dan amanah mereka di tengah masyarakat. Jika yang bukan santri saja bisa
menjadi seorang yang hebat dan bermanfaat bagi masyarakat, maka seharusnya
seorang santri yang pada dirinya kaya akan pengetahuan, wawasan, dan kesadaran
spritual tentu dapat memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat. Lewat
menulis dan media literasi seperti buku, pengetahuan dan ilmu mereka akan
tersebar ke tengah masyarakat, mengispirasi dan menjadi titian jalan menuju
kejayaan negeri. Maka tak salah jika kita katakan bahwa menulis adalah suatu
jalan untuk mengabdi dan mengabadi.[Luttfi
Fatahillah]
Komentar
Posting Komentar