Menuju Perbaikan Diri
Hari-hari
sibuk di pengujung tahun. Sebuah tugas ajaib dengan deadline mepet yang cukup menantang,
menghadapkan saya pada risiko dengan tingkatan
yang lebih
tinggi. Akhirnya setelah semua kesibukan mereda, saya bisa menulis lagi di blog
ini. Sempat ada beberapa bahan tulisan yang
rasanya mendesak ingin dituangkan, tapi memang pekerjaan-pekerjaan mendadak dan agenda-agenda pelesiran sangat
menyedot perhatian. Alhasil, baru sekaranglah blog ini bisa kembali terisi
dengan sebuah tulisan. Topik-topik menarik yang ingin saya angkat itu sepertinya lebih enak dibuat terpisah. Tapi karena sisa umur tanggal 31 tinggal menghitung jam sementara saya ingin bercerita lebih panjang, biarlah mereka saya
pampatkan dalam sebuah tulisan saja. Semuanya masuk di sini. Entah seperti apa
nantinya. Tapi, marilah kita mulai menulis.
Jadi
begini, bulan ini ada beberapa hal unik
yang saya
temui. Mulai dari seminar, tugas tambahan, pelesiran ke beberapa tempat yang
cukup berkesan, sampai momen menyambut tahun baru 2016. Begini saja, saya
rangkum semuanya biar tidak terkesan terlalu memaksa untuk diuraikan satu per
satu. Saya akan membuat sebuah wajan bernama “perbaikan
diri”. Semua hal yang saya alami pada bulan ini, akan saya tuangkan, aduk ke dalamnya lalu
direbus berbarengan hingga menjadi sesuatu yang bisa ditelan.
Saya menemukan benang merah dari semua
pengalaman yang saya alami akhir-akhir ini. Ini merujuk pada sesuatu yang tadi
saya sebut sebagai “perbaikan diri”. Tentu saja, perbaikan diri yang paling ideal ialah ketika segala sendi dalam kehidupan kita dapat kita perbaiki dan benahi. Maka
saya mengajak—pertama-tama—untuk memperbaiki diri kita demi kebaikan keluarga
kita. Mengapa? Sebab keluarga adalah fondasi sebuah negeri. Saat
keluarga-keluarga yang menjadi tulang
punggung
sebuah negeri sehat, maka negeri itu pun
dapat berdiri tegak. Sementara kekokohan keluarga dimulai dari
kehidupan rumah tangganya. Dalam seminar rumah
tangga yang saya ikuti waktu itu, terasa benar bahwa kebahagiaan rumah tangga
akan berdampak pada kualitas hidup kita. Dan kebahagian rumah tangga hanya akan
tercapai manakala si suami dan si istri berusaha saling membahagiakan (credit untuk Teh Mimin Aminah “Smartlove”). Pokoknya, suami yang bisa
membahagiakan ialah suami yang dibahagiakan; istri yang mampu membahagiakan
ialah istri yang dibahagiakan. Rumah tangga ialah persoalan dua belah pihak,
bukan soal hati sebelah-sebelah semata. Ulang tahun
kedua pernikahan saya baru saja saya lewati. Ini jadi
momen baik untuk menerapkan perbaikan dan
hal-hal positif tadi.
Kemudian,
kita mesti optimis pula dalam memandang hidup. Bisa jadi ada banyak hal yang menjadi
batu sandungan. Tapi selama kita punya hati, Tuhan selalu mampu menunjukkan jalan. Entah itu
untuk sukses, atau untuk keluar dari kesulitan. Tugas dengan deadline mepet itu
contohnya. Sepertinya pekerjaan itu tak bakal selesai tepat waktu, tapi siapa bisa mengira. Dengan tekad dan sedikit
pengorbanan,
serta playlist lagu di mediaplayer yang sebenarnya
acak-acakan,
akhirnya pekerjaan itu selesai juga. No guts
no glory, no pain no gain. Memang itu ungkapan paling pas saat kita
membicarakan sebuah pencapaian. Berikutnya, menunggu lawan-lawan
tanding lainnya yang tak bisa saya anggap lebih ringan. Apa pun itu, hadapilah karena
kita tak bisa dikalahkan (meminjam kutipan dari The Old Man and The Sea-nya Ernest
Hemingway, “Manusia bisa dihancurkan tapi tak bisa dikalahkan.”)
Dan
lantas, orang-orang datang dan pergi. Mereka datang sendiri-sendiri tapi sepertinya sepakat untuk pulang dalam satu rombongan. Agak
ironis (hanya saya yang tahu tentang makna
kalimat-kalimat ini, yang terhubung dengan
pengalaman saya dalam seminggu terakhir ini). Tahun depan sudah menunggu, ada banyak perubahan yang
terjadi. Tapi percayalah, tugas manusia sederhana, kita hanya diwajibkan untuk
berusaha sekuat tenaga demi mencapai tujuan kita. Urusan berhasil atau tidak, itu bagian Allah. Dan segala perubahan di pengujung tahun ini, atau
perubahan-perubahan yang menanti di tahun depan nanti, jadikanlah semacam batu gerinda untuk menajamkan naluri sebagai
manusia. Melembutkan hati dan watak kita, serta mengagungkan
akhlak kita.
Jadi,
begitulah. Selama akhir tahun ini banyak hal yang terjadi. Semuanya terlalu
menyibukkan sampai-sampai waktu seolah dipaksa dipadatkan dalam sebuah kotak
korek api. Pengalaman-pengalaman yang cukup seru untuk menyambut tahun baru. Well, selamat tinggal tahun-tahun penuh
intrik, selamat datang tahun baru yang masih malu-malu. Mungkin inilah saat
yang tepat bagi perubahan dan “perbaikan diri”; dari dalam diri kita dan untuk sekitar
kita. Menuju yang lebih baik, pastinya.[Luttfi Fatahillah]
Komentar
Posting Komentar