Kembali Jadi Anak Kecil

Saat kecil, kita pasti sering membayangkan bahwa kelak ketika dewasa kita akan jadi orang sukses. Sebagian besar dari kita pasti membayangkan demikian, dan sisanya—entah karena terlalu polos atau memang bermental easy going—barangkali tidak pernah memikirkan hal itu. Saya sendiri ketika masih kecil selalu membayangkan bahwa nanti saat sudah dewasa, saya akan menjadi orang sukses; jadi orang kaya, cita-cita tercapai, punya harta banyak. Tapi, apa yang akan kita perbuat bila memang kehidupan tidak pernah semulus seperti yang kita inginkan?

Waktu kecil kita memandang dunia dalam perspektif seorang anak. Selalu ada hal baru dan menyenangkan setiap harinya. Ketika kita mengalami sesuatu untuk kali pertama, kita akan sangat antusias ketika merasainya. Segala pengalaman pertama adalah pengalaman yang mengasyikkan. Misalnya: hari pertama puasa, pertama kali naik kereta, pertama kali berangkat sendiri ke sekolah, dan berbagai pengalaman lainnya. Semua itu menanamkan mental positif kepada kita hingga membentuk suatu asumsi di dalam otak bahwa hidup itu menyenangkan. Saat kecil, kita punya banyak mimpi dan merasa optimistis dapat meraihnya. Belum lagi orang-orang di sekitar kita—terutama keluarga—tak henti-hentinya memotivasi kita dengan stempel positif: “anak pintar”, “anak baik”, “anak saleh”, dan lain sebagainya. Tak ada yang ditakuti, satu-satunya yang kita takuti hanyalah “kena marah” orangtua atau orang-orang yang kita segani. Pandangan demikian membuat otak dan pikiran kita selalu berpikir positif. Maka tidak heran, anak-anak selalu semangat, berpikir maju, dan kreatif. Anak-anak selalu punya anggapan bahwa kelak di kemudian hari dirinya akan jadi orang sukses sesuai dengan bayangan yang ia bentuk sendiri di dalam pikirannya.

Beranjak dewasa, lambat laun informasi atau bahkan cemaran-cemaran mengotori pikiran kita. Hidup mulai terasa membosankan, banyak tekanan, dan impian serta cita-cita itu justru menjadi beban. Oleh karena itu, sering kali masa remaja dianggap sebagai masa labil, masa paruh baya sebagai masa depresi, dan masa tua sebagai masa pasrah berserah diri. Ada target dan harapan sebagai das sollen, tapi das sein berkata lain. Lama kelamaan, realitas akan dianggap hantu yang merongrong. Manakala pengalaman buruk silih berganti menimpa, otak manusia bisa-bisa menerjemahkannya sebagai sinyal kegagalan; inilah yang menjadi kesalahan paling fatal. Puncaknya, orang merasa bahwa dirinya amat sulit atau bahkan mustahil meraih cita-citanya. “Ternyata dunia tak seindah yang dikira”, mungkin itu ungkapan ekstrem sebagai ekspresi kekecewaan dalam memandang realitas.

Jika seseorang mendapati dirinya serbasulit menggapai harapan dan cita-citanya, dia mesti mengingat hal yang paling esensial dalam kehidupan ini. Ingatlah bahwa sesungguhnya kita tidak tahu takdir kita akan seperti apa. Ibarat kita adalah alur cerita dalam sebuah roman, kita hanyalah kisah yang ditulis oleh si pengarang, tidak tahu ujungnya akan seperti apa. Tapi untungnya, kondisi manusia tidak seburuk itu. Kita diberi hak untuk memilih. Ada banyak pilihan yang mengantarkan pada jalan-jalan yang membentang di depan kita. Manusia tidak diwajibkan jadi orang kaya, sukses, atau hebat; kita hanya diwajibkan berusaha sebisa mungkin untuk memperoleh yang terbaik. Yang penting adalah prosesnya, bukan hasil (terkadang kita lupa hal ini, jadi tidak ada salahnya untuk terus diingatkan). Coba bayangkan bila seseorang tahu seperti apa takdirnya. Orang yang tahu bahwa kelak ia akan mendapatkan kebahagiaan hidup mungkin akan jadi pemalas, sementara orang yang takdirnya tak sebaik itu akan merasa putus asa. Tapi pada dasarnya, setiap manusia telah disediakan takdir baik, tinggal sejauh mana keinginan dan tekad dia demi menemukan jalan yang paling tepat untuk menemukannya.  

Tiap orang punya potensi menjadi orang sukses. Kita mesti memupuk keyakinan kita bahwa kita semua mampu menemukan takdir baik. Memang, selama prosesnya godaan dan ujian tak henti-hentinya merintangi kita untuk menggapai kebaikan. Anggap saja itu semua sebagai tantangan agar kita dapat senantiasa berkembang hingga memperoleh kebaikan (baik di dunia maupun di akhirat). Orang-orang yang berhasil adalah orang yang punya daya tahan, tetap yakin dan percaya diri tak peduli seberat apa terpaan yang ia terima. Resepnya adalah mengkombinasikan keyakinan, optimisme, dan usaha menjadi suatu bangunan yang kokoh. Jadi, tak ada salahnya kita me-recall cara pandang kita waktu kecil dulu bahwa segala yang terjadi sesungguhnya merupakan hal-hal seru dan baru. Tak ada hari yang sama persis seperti hari-hari sebelumnya, mereka berdiri sendiri dan punya cerita masing-masing. Salah besar bila kita takut terhadap pengalaman buruk yang berulang, sesungguhnya yang berulang hanya perasaan dan emosi kita. Maka, dunia ini baru setiap harinya, tak perlu terkekang oleh masa lalu atau terbebani masalah yang ada. Selalu ada pilihan dalam hidup, selalu ada jalan untuk meraih kesuksesan. Bayangkan dan pikirkan ini: andaikan ada 100 jalan, sesungguhnya ada 100 kesuksesan bila kita serius dan konsisten menjalani salah satunya. Lantas apa yang membuat kita merasa gagal? Tak ada; sebab kegagalan ialah berhenti di satu titik, kembali ke tempat semula, atau mengganggu usaha orang lain saat ia terus berjalan menuju impiannya.[]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hebatnya Dunia Pemahat-Kata

Kala Coretan Berarti Segalanya

Wejangan Sir Muhammad Iqbal dan Literasi di Pesantren