Agent of Change?

Jalan-jalan dipasang barikade, arus lalu lintas macet atau terpaksa dialihkan, hingga aksi pembakaran yang tersulut di berbagai tempat; itulah potret yang jamak terlihat manakala demonstrasi terjadi di negeri ini. Huru-hara semacam itu bermunculan di banyak tempat saat massa berdemonstrasi menolak kenaikan harga BBM beberapa waktu lalu. Komposisi massa yang dimaksud mungkin bervariasi, tapi memang pada akhirnya unjuk rasa tersebut lebih banyak didominasi dan diatasnamakan oleh mahasiswa. Fungsi demonstrasi atau unjuk rasa itu sendiri tak lebih dari suatu media atau cara agar orang dapat menyatakan pendapatnya mengenai suatu persoalan. Tapi kalau demonstrasi sudah bercorak anarki, itulah yang menjadi masalah; yang sayangnya hal semacam ini kian mudah kita temukan di sana-sini.

Membaca berita beberapa hari lalu tentang demo BBM membuat kita miris. Demonstrasi penolakan kenaikan harga BBM di sejumlah kota seperti di Jakarta, Medan, dan Makassar, berujung bentrok. Pembakaran hingga penjarahan terjadi. Siapa yang mesti dikambing-hitamkan? Mahasiswa, aparat, ataukah oknum-oknum yang entah dari mana datangnya? Agaknya pihak-pihak itu memang punya andil dalam kerusuhan yang terjadi pada serangkaian demonstrasi tersebut. Namun, kritik kini lebih mengarah kepada para mahasiswa. Bukan tanpa alasan: para mahasiswa akhir-akhir ini memang menunjukkan citra yang negatif di mata masyarakat. Mereka tidak lagi menunjukkan citra diri yang sepatutnya sebagai orang-orang terpelajar. Tengok saja peristiwa tawuran mahasiswa yang kini mulai terasa tak aneh lagi, hingga “demo bakar-bakaran” yang hampir pasti menjadi bumbu dalam setiap aksi unjuk rasa mahasiswa. Mungkin tawuran dan demo bakar-bakaran itu memang tidak berlaku bagi semua, tapi cukuplah itu sebagai tanda bahaya bahwa mahasiswa harus kembali merenung dan berbenah diri.

Ada orang yang beranggapan bahwa aksi anarkis tersebut dilakukan karena pemerintah tidak lagi menggubris keluhan-keluhan rakyat. Hingga akhirnya, demonstran terpaksa menggunakan cara yang ekstrem agar pemerintah sadar bahwa rakyat masih mampu melawan. Ini tentu saja tidak dapat dibenarkan. Sesuatu yang baik harus diperoleh dengan cara yang baik pula. Bagaimana pun juga—selama itu bukan di tengah kecamuk perang—pengrusakan dan penganiayaan tidak dapat dibenarkan. Coba tengoklah demonstrasi BBM beberapa waktu lalu. Mahasiswa memblokade jalan, membakar ban, melempari aparat dengan batu dan berbagai benda berbahaya lainnya, hingga melempari mereka dengan bom molotov. Ini semua merupakan sinyalemen buruk bagi masa depan bangsa ini. Jika mahasiswa yang merupakan generasi penerus begitu beringas seperti itu, mau dibawa ke mana bangsa ini?

Mahasiswa zaman sekarang agaknya tidak seperti mahasiswa zaman dulu. Mungkin ini ada kaitannya dengan gaya hidup hedonis yang menjangkiti masyarakat kita. Sementara itu, mahasiswa di sisi lain sebagai generasi muda juga turut menjadi korban. Lingkungan dan berbagai input yang merusak pola pikir mereka menimbulkan dampak negatif. Pikiran menjadi tumpul dan hanya berorientasi pada kesenangan lewat cara yang instan semata. Tapi memang seperti itulah adanya. Di tengah dera cobaan, mereka harus bisa survive. Itu semua telah menjadi risiko bagi mereka sebagai agen pembaru (agent of change). Justru inilah saat-saat ketika mereka menunjukkan sekuat apa mentalitas mereka. Apakah terlarut di tengah pusaran globalisasi dengan segala ekses buruknya, ataukah dapat tetap mengusung idealisme yang diyakininya. Itulah titik pertaruhan mereka sebagai insan intelektual. Tapi bila menengok serentetan kasus yang terjadi di negeri ini, yang utamanya melibatkan mahasiswa, kita tentu jadi bertanya-tanya: sebenarnya mau dibawa ke mana perjuangan mereka itu jika terus seperti ini? Kalau memang mereka diprovokasi, seharusnya mereka jangan terprovokasi, kalau memang mereka mau memperjuangkan rakyat, jangan jadi malah merugikan rakyat dengan memacetkan jalan-jalan atau bentrok hingga merusak fasilitas umum (yang sebenarnya itu semua dibangun atas jasa dan pengorbanan rakyat juga).

Mahasiswa harus tetap memandang dan menganalisa segala persoalan dengan kepala dingin. Itulah yang diperlukan rakyat saat ini, sebab semua orang kelihatannya lebih banyak menggunakan hawa nafsu dan dorongan instingtif beralaskan teori homo homini lupus semata. Di satu sisi ada realitas, di sisi lain ada mahasiswa. Persoalannya, apakah mahasiswa akan tergerus realitas ataukah justru melakukan peran yang semestinya, yakni sebagai agent of change? Kalau mahasiswa mudah gelap mata dan tersulut emosinya, siapa lagi yang bisa berdampingan dengan rakyat untuk menghadapi realitas dan hegemoni penguasa?[]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hebatnya Dunia Pemahat-Kata

Kala Coretan Berarti Segalanya

Sawang - OUTLINE