Penerbitan Alternatif: Pejuang yang Bergerak di Keheningan
Sebuah pepatah anonim mengatakan, “Jika kau hanya punya satu nyawa, kau mesti belajar cara membaca.” Pepatah itu tak berlebihan rasanya, mengingat kegiatan membaca—seperti yang telah kita ketahui—sangatlah bermanfaat. Namun, tampaknya pengetahuan kita tentang pentingnya membaca tak lantas jadi suatu pemahaman maupun kesadaran. Betapapun ia telah menempel pada kerak di benak kita, kesadaran untuk melakukan aktivitas membaca tertinggal di langit-langit kerongkongan atau di ujung lidah semata. Ia tak lantas jadi suatu perilaku maupun kebiasaan yang mengejawantah.
Sangat sedih
rasanya, mendengar hasil survei dari Connecticut State University tentang Most Literate Nations. Dari 62 negara
yang disurvei, Indonesia hanya lebih baik daripada Bostwana (sebuah negara berkembang
di Afrika Tengah), menempatkan negeri kita di urutan ke-61, kedua dari bawah.
Mari kita renungkan hal tersebut. Betapa negara sebesar ini, dengan jumlah penduduk
terbesar keempat, memiliki sumber daya alam terlengkap di dunia, ternyata tak
dapat berbicara banyak di percaturan global. Fakta yang menohok ulu hati kita
adalah: budaya literasi dan minat baca masyarakat kita sungguh di bawah
rata-rata dibandingkan negara lain. Perlahan negara-negara tetangga mulai
merangkak naik, Vietnam, Singapura, Malaysia, dan negara-negara lain di Asia
Tenggara mulai menununjukkan tajinya. Sementara itu, dalam kaitannya dengan
budaya literasi, negara kita hanya bisa berada di atas Kamboja dan Laos,
tersisih dari negara-negara yang dikenal dominan di Asia Tenggara.
Kemudian, mari kita
bergeser ke Barat. Negara-negara dengan sistem pendidikan terbaik seperti Finlandia,
Norwegia, Islandia, Denmark, dan Swedia, menempati posisi-posisi terbaik dalam
rangking literasi dan pendidikan. Ternyata, itu sejalan pula dengan survei
kualitas kesejahteraan penduduknya, menempatkan negara-negera tersebut di urutan
20 besar negara terkaya dan termakmur. Maka, simpulan yang dapat kita tarik
ialah: Jika negara dan masyarakat ingin maju, jangan lupakan pendidikan dan
literasi. Kedua hal tersebut menjadi fondasi untuk memajukan sebuah negeri. Perjuangan
untuk menjadikan literasi sebagai fokus sama pentingnya dengan menjadikan
sektor pendidikan sebagai prioritas pembangunan sumber daya manusia.
Lantas, bicara soal literasi
tak akan terpisahkan dengan buku sebagai sumber bacaan. Manakala berbicara
tentang buku, aktivitas penerbitan pun mutlak harus kita telaah sebagai
keniscayaan dalam pengadaan suatu bahan bacaan. Oleh sebab itu, penerbitan
mesti mendapat tempat yang istimewa. Termasuk sistem-sistem penerbitan lainnya
yang tergolong ke dalam sistem penerbitan alternatif. Sedikit wawasan yang bisa
dibagi, jumlah terbitan buku di Indonesia tergolong rendah, tidak sampai 18.000
judul buku per tahun. Jumlah ini lebih rendah dibanding Jepang yang mencapai
40.000 judul buku per tahun, India 60.000, dan China sekitar 140.000 judul buku
per tahun. Tentunya hal ini patut menjadi pertanyaan, perbandingan jumlah
penduduk Indonesia dengan jumlah judul yang diterbitkan tampaknya sangat tak sebanding.
Lain halnya dengan Jepang misalnya, yang jumlah penduduknya setengah dari
jumlah penduduk Indonesia, yang mampu menerbitkan hingga 40.000 judul per tahun
(hampir 2,5 kali lipat dari jumlah judul terbitan per tahun di Indonesia). Tak
dapat dipungkiri pula, bahwa Jepang memiliki kualitas pendidikan yang baik
dengan status negaranya yang maju. Literasi, pendidikan, dan minat maca saling
berkelindan, membentuk suatu sulur-sulur yang menjadi akar dan fondasi bagi
kemajuan suatu bangsa. Dengan demikian, kita tak lagi boleh menutup mata
terhadap unsur-unsur tersebut.
Nah, bicara soal
penerbitan, secara umum terbagi menjadi penerbitan tradisional dan self
publishing. Sederhananya, pada penerbitan tradisional, penulis menyerahkan
naskahnya berikut hak ekonomi atau hak eksploitasi naskah tersebut kepada
penerbit dalam jangka waktu yang ditentukan. Hal ini terjadi ketika penerbit
merasa sreg dengan naskah tersebut
dan melihat adanya prospek yang baik di pasar atas naskah tersebut. Penerbit
konvensional ini kemudian akan menggarapnya melalui proses editorial,
mencetaknya, hingga kemudian menerbitkannya. Adapun pada self-publishing, si
penulis menerbitkan naskahnya sendiri hingga menjadi buku. Seringkali pada
self-publishing, penulis memiliki brand sendiri sebagai bendera atas naskahnya.
Permodalan hingga perhitungan keuntungan sepenuhnya diatur oleh si penulis.
Pada
perkembangannya, muncul istilah hybrid
publishing. Sistem penerbitan ini merupakan kategori yang tak menempatkan
dirinya pada kedua kategori sebelumnya (di luar tradisional dan self
publishing). Ia merupakan makhluk baru yang muncul karena improvisasi dari para
penerbit mayor maupun dari sebuah agensi penerbitan atau penyedia jasa
penerbitan. Pada penerbitan tradisional, si penulis dibayar dan diatur oleh
penerbit. Pada penerbitan self publishing, si penulis mengeluarkan modal untuk
buku yang dia terbitkan. Sementara pada sistem penerbitan hybrid, terdapat model-model tertentu yang disepakati kedua belah
pihak; ada layanan yang digratiskan dan ada layanan berbayar; menyangkut
hal-hal yang terkait dengan editorial, pencetakan, hingga pemasaran buku.
Kemudian, muncul
pula penerbitan indie atau independent publishing. Istilah indie dan self
publishing menjadi semakin menyaru dan seringkali saling menggantikan. Padahal,
ia berbeda. Pada awal kemunculannya di Barat, indie merupakan suatu entitas
penerbit yang tidak terafiliasi dengan penerbit-penerbit mayor. Ia terpisah dan
membuat arus sendiri yang terkadang tak sejalan dengan arus utama. Bisa
dibiliang, mereka mengusung misi tertentu beserta idealisme yang mereka
perjuangkan. Penerbitan indie ini kemudian perlahan menjadi suatu aktor penerbitan
yang semakin diperhitungkan. Muncul pula penerbitan digital sebagai respons
atas perkembangan teknologi. Pada indie publishing—sebagaimana yang dipahami
masyarakat—para penulis bisa lebih leluasa untuk menerbitkan bukunya, dengan
variasi tema dan genre yang lebih luas.
Perkembangan dunia
penerbitan kini mencapai suatu babak baru, ketika semua kategori penerbitan
tadi menjadi semakin bercampur baur, tak terlihat lagi dengan jelas mana yang
konvensional, mana self-publishing, indie, atau yang digital. Semua jenis
penerbitan tadi bebas berkarya dan berimprovisasi untuk dapat bersaing.
Penerbit bercorak
indie-digital pun mulai tumbuh dengan menawarkan berbagai platform, terutama
menggunakan website. Di dalam negeri, Bitread publishing menjadi contoh salah
satu penerbitan indie-digital yang menggunakan platform website untuk membantu
para penulisnya berkarya. Dengan platform tersebut, para penulis baik
profesional maupun pemula, memanfaatkan kemudahan-kemudahan dalam menerbitkan
karyanya. Soal platform digital, di luar negeri sana ada Amazon yang berusaha
memanfaatkan ceruk pasar dengan sangat ambisius. Mereka memiliki aplikasi yang
mereka kembangkan sendiri, bersamaan dengan platform pemasaran yang juga telah
sangat dikenal.
Penerbitan indie
menjadi suatu bukti bahwa “selalu ada tempat bagi siapa pun”. Penerbitan indie
memiliki keleluasaan untuk mendarat di pasar-pasar yang spesifik, bahkan pada
tema maupun genre yang dipandang tak seksi sekalipun. Buku jenis apapun dapat
digarap dengan metode penerbitan indie tersebut; yang kemudian dapat membuat
arus baru bahkan melawan arus yang telah menghegemoni.
Perkembangan dunia
penerbitan dewasa ini sangatlah menarik bagi para penulis, terutama para
penulis indie. Anggapan bahwa naskah-naskah atau buku yang tidak diterbitkan
penerbit mayor hanya akan berakhir di tong sampah menjadi salah besar. Kini, semakin
banyak penulis yang muncul ke permukaan tanpa bermitra dengan penerbit mayor,
mereka memilih penerbit yang terbilang kecil atau maju dengan sistem
self-publishing. Para penerbit mayor bergulat di pasar yang telah didikte
pasar, menyisakan ruang-ruang yang tak tersentuh yang bisa menjadi potensi bagi
penerbit indie dengan jenis terbitannya yang lebih luwes dan fleksibel. Para
penulis indie memiliki motivasi kuat dalam menerbitkan karyanya. Mereka punya
misi sendiri untuk menerbitkan secara indie. Entah memang karena panggilan
hati, sekadar berbagi, atau ingin memberikan kontribusi pada komunitas tempat
ia berekspresi. Mereka berani beda,
membuat setiap penulis indie memiliki keunikannya masing-masing.
Penerbitan alternatif menjadi sebuah wahana yang turut berjuang di garis terdepan untuk memajukan literasi negeri. Kendatipun belum banyak yang mengenal mereka; walaupun sering dipandang sebelah mata. Mereka bergerak dalam senyap, memotivasi masyarakat untuk menulis dan berkarya sebagai bentuk perjuangan dalam membangun budaya literasi negeri. Membaca ialah salah satu tingkatan dasar yang perlu menjadi kebutuhan wajib kita, dan menulis ialah tahapan berikutnya yang lebih tinggi. Tak hanya mengolah dan memproduksi wacana dari suatu bacaan, menulis ialah kegiatan mencipta, membagi ilmu, opini, pemikiran, dan suara hati yang kelak mengabadi lewat sebuah tulisan. Bukan soal tradisional atau self-publishing, konvensional, digital, atau indie, ini semua adalah tentang kita sebagai bangsa yang beradab, dengan impiannya untuk menjadi bangsa yang besar dan bermartabat melalui suatu belantara yang bernama literasi. Maka, apapun label dan gaya-nya, menulislah dan terbitkanlah. Buat Indonesia kembali disegani dunia.[Luttfi Fatahillah]
Penerbitan alternatif menjadi sebuah wahana yang turut berjuang di garis terdepan untuk memajukan literasi negeri. Kendatipun belum banyak yang mengenal mereka; walaupun sering dipandang sebelah mata. Mereka bergerak dalam senyap, memotivasi masyarakat untuk menulis dan berkarya sebagai bentuk perjuangan dalam membangun budaya literasi negeri. Membaca ialah salah satu tingkatan dasar yang perlu menjadi kebutuhan wajib kita, dan menulis ialah tahapan berikutnya yang lebih tinggi. Tak hanya mengolah dan memproduksi wacana dari suatu bacaan, menulis ialah kegiatan mencipta, membagi ilmu, opini, pemikiran, dan suara hati yang kelak mengabadi lewat sebuah tulisan. Bukan soal tradisional atau self-publishing, konvensional, digital, atau indie, ini semua adalah tentang kita sebagai bangsa yang beradab, dengan impiannya untuk menjadi bangsa yang besar dan bermartabat melalui suatu belantara yang bernama literasi. Maka, apapun label dan gaya-nya, menulislah dan terbitkanlah. Buat Indonesia kembali disegani dunia.[Luttfi Fatahillah]
Komentar
Posting Komentar